![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhturKBGYw1naBCMxwK2yVlPrCeBhWUOn1Ghjb8FxryPeNdF8R7ev7SP8ArxdnA1x369ghXc-PodVsJloiKzAkRbGNYJ6SnUK6tCoeRD-Q-tkNua0lSpKizVBowpwtlBgLjqFc-89kCtcY/s320/AL-NUR+ZONE.jpg)
Dalam edisi kali ini, penulis akan mencoba menyajikan biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani.
Selama ini banyak orang mendengar nama besar beliau, cerita – cerita
heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya yang cukup legendaries,
tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh
para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika
kita cermati diantara sekian tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka
tersebut sepertinya belum pernah ada yang menyentuh biografi beliau
secara utuh. Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai
perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia, yaitu suatu organisasi
kelaskaran perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) yang pernah beliau pimpin, terlebih khusus diakhir kancah
tahun 1950-an.
Penulis menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena
ketidaktahuan dan ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat menjadi penyebab salah
persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil
beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini
akan dapat menjadi bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau
secara utuh di masa – masa selanjutnya. Karena membahas tentang tokoh
legendaries Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini bak tak mengenal
musim. Nama beliau cukup harum serta senantiasa hidup dihati sanubari
para santri serta kaum muslimin di sepanjang belahan bumi Nusantara ini,
setidak – tidaknya sampai saat kurun masa kini. Itulah yang penulis
ketahui.
Nama dan Kelahirannya
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan
suami istri Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani dengan
Ummi Lathifah binti Muhammad Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin
Nur ‘Ali.
Dari abahnya mengalir darah Rasulullah Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul
Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu) yang
merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani
Al-Hasani. Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok
Pesantren Al-Kahfi Somalangu adalah ; Syeikh As_Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman bin Ibrahim (Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani) bin Muhammad bin
Zaenal ‘Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan
bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syeikh As_Sayid
Muhammad ‘Ishom Al-Hasani (Syeikh Abdul Kahfi Al-Awwal).
Ketika lahir, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diberi nama “Mahfudz”
oleh abahnya. Sesudah mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu beliau
mempunyai nama laqob masyhur “Romo Pusat” dan “Kyai Somalangu”. Sebutan
itu muncul dengan sendirinya yang bermula dari kalangan masyarakat lapis
bawah karena hormat mereka pada beliau. Sementara kalangan santri
sendiri memanggil beliau semenjak masih muda dengan sebutan “Syeikh
Mahfudz”.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dilahirkan di komplek Pesantren
Al-Kahfi Somalangu pada malam 27 Rajab 1319 H bertepatan dengan 9
November 1901 M atau 27 Rejeb 1831 – Dal jatuh Mongso Kanem. Sebagian
sesepuh Jawa ketika beliau lahir ada yang memprediksikan bahwa kelak
setelah berusia diatas 30-an tahun, beliau akan jadi orang terhormat,
mempunyai jiwa rela berkorban, penampilannya cukup kharismatik
(simpati), mempunyai jiwa optimis, kuat dalam berprinsip, pandai
bergaul, membenci kepalsuan, akan mendapat ujian berat, namun dengan
kedewasaan dalam berfikir serta ketabahannya ia akan tetap mulia
dicintai kawan serta disegani lawan.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mempunyai 3 orang saudara kandung,
yaitu Syeikh As_Sayid Thoefur Al-Hasani dan Syarifah Ghonimah Al-Hasani
serta 6 saudara seayah lain ibu. Adapun keenamnya tersebut ialah Sayid
Quraisyin (di perjuangan AOI lebih dikenal namanya dengan sebutan KH Nur
Shodiq), Sayid Qumdari, Sayid Qomari, Sayid Qushashi, Sayid Quthubi dan
Syarifah ‘Aqidah.
Masa kanak – kanak dan Pendidikannya sampai usia remaja
Pada saat setelah dilahirkan, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sudah
menampakkan hal – hal yang terbilang luar biasa daripada bayi kecil pada
umumnya. Wajahnya tampan dan menampakkan sinar cahaya terang. Kulitnya
putih kemerah – merahan. Matanya tajam dan bercahaya kemilauan. Abahnya
memohon pada Allah Swt agar kelak ia terbebas dari perbuatan – perbuatan
radiiah (jelek). Oleh karenanya beliau diberi nama “Mahfudz”.
Ada ungkapan sederhana dari seoarang Habaib Ba’alawi keturunan Al-Haddad
yang tinggal di Kebumen. Beliau adalah Al-Habib Ali bin Abdullah
Al-Haddad. “Ketika kecil, saya sering diajak oleh abah saya ke
Somalangu. Lalu saya melihat wajah Syeikh Mahfudz tidaklah seperti para
Kyai pada umumnya. Sayapun bertanya kepada abah saya ; Bah, kok Syeikh
Mahfudz wajahnya seperti Jama’ah (istilah yg biasa dipakai keturunan
Hadhramaut apabila menyebut sesama ahlubaitin nabi Saw)” kata Al-Habib
‘Ali bin Abdullah Al-Haddad, “Abah saya pun lalu menjawab ; Syeikh
Mahfudz itu memang Jama’ah. Sama seperti kita. Kalau dia dari Al-Hasani.
Sedangkan kita dari Al-Huseini”. Demikian penuturan Al-Habib ‘Ali bin
Abdulah Al-Haddad kepada abah penulis disuatu waktu. Kisah sederhana ini
mengungkapkan bahwa kesaksian terhadap harismatik Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani bukanlah hanya dongeng belaka.
Diusia dini, ia telah amat menyukai belajar ilmu – ilmu agama islam.
Teman – teman yang sebayanya senantiasa diajaknya untuk mengikuti shalat
berjamaah dan mengaji. Beliau sangat fasih. Ia menamatkan pelajaran
Al-Qur’an dan jenis – jenis qiraahnya secara fasih dari abahnya sendiri.
Dalam usia 7 tahun, beliau telah khatam Al-Qur’an dan hafal berbagai
suaratan penting yang ada didalamnya. Ada yang bilang beliau setengah
hafal Al-Qur’an. Berbagai dalil – dalil naqli yang terkait dengan fiqh
‘ubudiah telah banyak dihafalnya dengan baik. Tidak hanya Al-Qur’an,
hadits Al-Arba’in Lin Nawawi-pun juga telah beliau hafal. Kemana beliau
pergi atau bermain, diriwayatkan Mahfudz kecil senantiasa membawa
catatan – catatan kecil atau korasan kitab untuk dibaca diwaktu dia
sempat. Sehingga dikatakan, kawan – kawan sebayanya telah merasa sungkan
ketika bergaul dengan Mahfudz kecil. Namun mereka tetap menyukainya
karena selain menyenangkan dalam bertutur kata, Mahfudz kecil juga tidak
sombong dan amat dermawan.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tidak pernah mengenyam pendidikan
formal sekolah. Karena pada masa itu pendidikan formal hanya dimiliki
oleh kalangan kaum feodalis serta neo-Belanda. Untuk mengayakan dirinya
dalam hal pengetahuan umum, ia belajar kepada abahnya, mendengarkan
radio serta membaca koran yang dikisahkan dapat ia peroleh seminggu
sampai sebulan sekali. Abahnya dapat pula menjadi guru pengetahuan umum
selain pengetahuan agama karena sang abah juga bertempat tinggal di
tanah Hejaz (sekarang Saudi Arabia). Sehingga ditingkat pergaulan beliau
memang telah mempunyai wawasan pengetahuan yang cukup luas bertaraf
internasional.
Ketika usianya beranjak mencapai 16 tahun, Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani mulai diizinkan oleh abahnya untuk menambah bekal ilmu
pengetahuan agamanya di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur
yang waktu itu diasuh oleh KH Dimyathi. Ada beberapa kisah unik yang
sempat melegenda mengiringi keberadaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
di pesantren Tremas. Diantaranya, ketika awal Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani masuk ke pesantren ini, ia sempat jadi bahan gunjingan dan
tertawaan para santri lainnya. Pasalnya, karena Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani datang dengan mengenakan pakaian Gamis. Dan satu dua hari
tinggal disana juga masih tetap memakai Gamis. Padahal kebanyakan para
santri waktu itu tidak ada yang memakai baju Gamis. Bahan gunjingan ini
maklum terjadi karena mereka tidak mengetahui jika Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani itu masih ahli baitin nabi Saw. Dimana tradisi
mengenakan Gamis bagi ahlibait adalah dipandang sebagai mengikuti sunnah
rasul. Pemakaian Gamis ini memang telah menjadi kesukaan Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani semenjak dari kecil, dirumah atau pergi
bermain kemana saja. Ceritanya, ketika beliau hendak pulang ke asrama
dari berjamaah di masjid, tiba – tiba kawan – kawan santri yang juga
baru lepas jamaah seperti paduan suara mentertawakan beliau. Akibat ini
perasaan tidak enak hati muncul pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Beliau kemudian menuju Bencet (alat untuk menentukan waktu shalat) di
depan samping masjid yang terbangun berbentuk tugu segi enam dengan
tinggi kurang lebih 1,5 meter dan berdiameter 1 meter. Dibedolnya
bangunan itu dengan sekali rengkuh serta dipanggulnya dan beliau
letakkan sendiri persisi ditengah – tengah halaman masjid. Kemudian apa
yang terjadi? Para santri yang semula sempat mentertawakan beliau tiba –
tiba terdiam sehingga suasana menjadi senyap seperti tak ada suara
sedikitpun. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun bertanya pada kawan –
kawan santri, “Kenapa kalian hentikan tertawanya??” “Ayo teruskan!!”.
Ternyata tak ada sebutir katapun mampu keluar dari kawan – kawan santri.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun ahirnya membawa kembali Bencet
tadi ketempat semula ia membedolnya. Ketika Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani telah kembali keasrama, para santri yang semula berkerumun
kemudian mendatangi Bencet yang telah dikembalikan ketempat semula.
Ajaibnya, ternyata tugu Bencet itu terpasang seperti seolah – olah tidak
pernah terjadi apa – apa padanya. Subhanallah. Kesaksian peristiwa ini
sempat direkam oleh beberapa alumni Tremas yang sempat mengalami masa
beliau di pesantren Tremas, seperti KH Asy’ari, Damesan, Magelang, KH
‘Ali Ma’shum, Krapyak, Yogyakarta, KH Hamid, Pasuruan dll.
Di Pesantren Tremas, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal selama
kurang lebih 1,5 tahun. Disini beliau sempat menyusun dua buah kitab
yang diberi judul : Al-Fawaidus Sharfiyah (kitab sharaf) dan Al-Burhanul
Qath’i (fiqh ‘ala madzhab As-Syafi’i). Dua buah kitab ini beliau
selesaikan pada bulan Ramadhan 1336 H (Juni 1918 M). Oleh KH Dimyathi,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga sempat diminta untuk mengajar
rekan – rekannya di serambi masjid walau beliau baru sebentar
keberadaannya di pesantren tersebut.
Dari Tremas, beliau sempat singgah di Jamsaren, Solo selama beberapa
hari dan kemudian singgah di Pesantren Darussalam, Watu Congol,
Muntilan, Magelang. Di Watucongol, semula niat Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani hendak berguru menambah ilmu agamanya pada mbah Kyai Nahrowi
Dalhar. Akan tetapi mbah Kyai Dalhar menolak untuk mengajar beliau.
Alasannya karena mbah Kyai Dalhar merasa ilmunya masih sedikit. Mungkin
yang seperti ini hanya sikap tawadhu’nya mbah Kyai Dalhar pada Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Karena mbah Kyai Dalhar sempat berguru
kepada kakek Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selama 8 tahun. Mbah Kyai
Dalhar malah meminta Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan
mengajar kitab yang telah disusunnya di Tremas. Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani pun sempat terkejut ketika mbah Kyai Dalhar mengetahui hal
ini. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya bersedia dengan catatan
mbah Kyai Dalhar berkenan untuk mendoakan beliau dan keturunannya. Dan
tak dinyana kemudian selang pada generasi cucu keduanya akhirnya terjadi
pernikahan. Apakah ini hasil diantara doa keduanya? Wallahu’alam bis
shawab. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian tinggal di Watucongol
sekitar 3 bulan. Setelah selesai mengajarkan kitab Fawaidus Sharfiyah
susunannya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pulang kembali ke
Somalangu.
Menurut keterangan kakek penulis dari ibu yaitu KH Ahmad Abdul Haq putra
mbah Kyai Dalhar, pelajaran Sharaf yang berasal dari kitab Fawaidus
Sharfiyah karya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tersebut ahirnya
menjadi pokok pelajaran sharaf di Pesantren Watu Congol dari semenjak
mbah Kyai Dalhar sampai dengan saat beliau mulai mengampu pesantren.
Bahkan menurut beberapa orang murid mbah Kyai Dalhar seperti Mbah Kyai
Udin, Nglamat, Muntilan, Kyai Bakrin dan Kyai Hamim Muntilan, pelajaran
sharaf kitab Fawaidus Sharfiyah ini juga diajarkan di Pesantren
Tegalrejo, Magelang saat mbah KH Khudhori mulai diperintahkan mbah Kyai
Dalhar untuk membuka pesantren tersebut.
Sayangnya kitab Fawaidus Sharfiyah dan Al-Burhanul Qath’i, keduanya
belum masuk cetak dari semenjak dibuat oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani. Dalam pembelajaran, menurut kakek penulis dan beberapa murid
mbah Dalhar, metodenya masih dengan cara menurun tulisan.
Jika dibandingkan dengan kitab Amtsilatut Tashrifiyah, Jombang karya KH
Ma’shum bin Ali Maskumambang, kitab Fawaidus Sharfiyah ini terdapat
sedikit perbedaan. Hanya pada beberapa bagian nampak ada kesamaan
metodologi. Penulis belum mengetahui persisi mana yang lebih dahulu
disusun diantara keduanya. Hanya saja menurut murid – murid mbah Kyai
Dalhar, saat kitab Fawaidus Sharfiyah dipakai di pesantren Watu Congol,
kitab Amtsilatut Tashrifiyah belum beredar di pesantren – pesantren
Dulangmas (Kedu, Magelang, Banyumas).
(KH ‘Ali Ma’shum Krapyak, Yogyakarta berkata, “Mencari figure sekaliber
Syeikh Mahfudz bin Abdurrahman pada zamannya sangatlah sulit. Beliau
adalah orang yang – komplit – dan mempunyai Himmatun ‘Aliyah. Saya
sering menghadap dan meminta taushiah pada beliau”)
Diangkat Mursyid Thariqah As-Syadziliyyah
Ayah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani yaitu Syeikh As_Sayid
Abdurrahman bin Ibrahim bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin Al-Hasani adalah
seorang yang ‘alim ‘allamah dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang
tauhid belau berpegang pada faham aqidah ahlussunnah wal jama’ah
(Asy’ariyah wal Maturidiyyah). Dalam bidang fiqh beliau menganut madzhab
Malikyah. Sedang dalam tasawuf beliau mengikuti Thariqah
As-Syadziliyah.
Madzhab fiqh Malikiyah dipilih oleh Syeikh As_Sayid Abdurrahman
Al-Hasani karena semenjak usia muda beliau lebih sering tinggal di Saudi
Arabia (waktu itu masih bernama Hejaz). Di Indonesia (baca ; Somalangu)
beliau sering tinggal secara temporer, seimbang dengan tinggalnya
beliau di Saudi. Kadang selama 6 bulan. Terkadang pula mencapai masa 1
tahun dan berangkat kembali ke Hejaz bersamaan dengan waktu berangkatnya
orang – orang Indonesia menunaikan ibadah haji. Sekalipun demikian,
Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani menyarankan puteranya, yaitu
Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk mengambil madzhab Syafi’iyyah sebagai
acuan madzhab fiqhnya. Sepertinya karena madzhab tersebut adalah madzhab
yang dipakai oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia.
Kisah seperti ini menunjukkan bahwa dalam persoaan fiqh, ulama Somalangu
cukup toleran dan dapat memahami perbedaan kerangka istinbat. Yang
terpenting adalah dalam persoalan tauhid harus satu. Karena didalam fiqh
fihi qaulani adalah hal biasa. Sementara itu tidak demikian halnya
dalam soal aqidah.
Keadaan diatas sepertinya mempengaruhi pertimbangan sikap Syeikh
As_Sayid Abdurrahman untuk mengangkat Mahfudz muda menjadi mursyid
Thariqah As-Syadziliyah penerus beliau. Tepatnya di usia yang masih 17
tahun, sepulangnya Syeikh As_Sayid Mahfudz pulang dari Pesantren
Watucongol, Muntilan beliau diangkat oleh ayahnya menjadi mursyid
Thariqah As-Syadziliyyah (1336 H/1918 M). Untuk mengenang peristiwa ini,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyusun sebuah kitab berjudul
“Sirajul Qulub” (1337 H). Yaitu sebuah kitab yang berisikan sejarah
Syeikh As_Sayid Abil Hasan As-Syadzili ra dan faham tasawufnya sampai
dengan sanad silsilah ijazah kemursyidan yang sampai kepada beliau.
Berangkat ke tanah Haram
Kemauan besar yang terdapat dalam diri Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk
menimba ilmu sedalam mungkin sepertinya tak tercegah oleh kendala usia
dan prestasi yang telah dicapainya. Pada tahun 1337 H, Syeikh As_Sayid
Mahfudz berangkat ke tanah Haram (Makkah) untuk lebih memperdalam
keilmuan agamanya. Beliau beramal dengan hadits Rasulullah Saw ;
Yang Artinya, “Dari Jabir, ia berkata ; bersabda Rasulullah Saw : –
Sebagian dari sumber ketaqwaan ialah belajarmu pada sesuatu yang engkau
benar – benar mengetahui bahwa engkau belum mengetahui -”. (Lih,
Al-Mu’jamul Kabir Lit Thabrani, bab Man Ismuhu Ibrahim, juz 6 hal 48).
Ditanah haram, beliau tinggal dirumah Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad
Babashol didaerah Misfalah. Dari Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad
Babashol, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memperoleh ijazah “Sirrul
Maulid”. Yaitu, suatu ijazah yang biasa berlaku di kalangan ahlulbait
dimana salah satu faedahnya adalah apabila “prosesi” tersebut dilakukan
sewaktu membaca maulid rasul (apapun bentuk maulidnya seperti
Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simtuth Duror dll) maka “Nur” Rasulullah Saw
akan memancar dalam majlis tersebut. Sehingga hadhirin yang mengikuti
pembacaan maulid dapat merasakan kekhusukan serta mahabbah yang mendalam
kepada Habibanal Musthafa Saw. Itulah penjelasan yang penulis dapatkan
dari abah penulis tentang apakah ijazah sirrul maulid tersebut. Abah
penulis sendiri untuk pertama kalinya mendapat ijazah sirrul maulid dari
guru beliau yang bernama Syeikh As_Sayid Masyhud bin Muhammad
Al-Hasani, dimana Syeikh As_Sayid Masyhud Al-Hasani mendapatkannya dari
Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani yaitu abah dari Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Sewaktu keberangkatan pertama kalinya ketanah Haram ini, Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani sempat pula bertemu dengan Syeikh Mahfudz At-Turmusi.
Seorang tokoh ulama Indonesia yang sempat menjadi pengajar dan imam di
Masjidil Haram. Pada beliau, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat
sorogan kitab syarah Bafadhol sampai khatam.
Bai’atul Wilayah
Sudah menjadi kebiasaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beiau membagi
waktu malamnya menjadi dua bagian. Yang sebagian digunakan untuk
tadarus serta muthala’ah kitab. Sedangkan sebagian lagi digunakan untuk
berkhalwat serta mujahadah kepada Allah Swt hingga fajar menyingsing.
Sahrallayal (tidak tidur malam) merupakan kebiasaan beliau. Waktu
istirahat diambilnya saat qulailah, yaitu setelah shalat dzuhur sampai
dengan asar.
Kisahnya, ketika beliau tengah bermujahadah di masjidil Haram sesudah
menyelesaikan ibadah thawaf, tiba – tiba beliau dijumpai oleh seseorang
yang mengenalkan dirinya bernama “Ibnu ‘Alwan”. Begitu berjabat tangan,
tahulah Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan siapa beliau
berhadapan. Dialah nabiyullah Khidhr as. Seorang nabiyullah yang
bermohon kepada Allah Swt agar diperkenankan menjadi umat nabi Muhammad
Saw. Dan oleh Allah Swt doa beliau dikabulkan. Sesudah wafatnya
Rasulullah Saw Khatamul Anbiya, maka sebagai umat Muhammad Saw yang
terpilih, beliau atas izin Rasulullah Saw ditugaskan oleh Allah Swt
untuk membai’at para auliya pewaris dan penerus perjuangan Habibina
Muhammad Saw.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pergi bersama Al-Khidr dalam
waktu yang cukup lama sehingga oleh teman – temannya tidak diketahui
kemana dan dimana beliau menempat. Menurut Syeikh As_Sayid Masyhud bin
Muhammad Al-Jilani Al-Hasani guru dari abah penulis, Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani mendapat tarbiyah dari Al-Khidhr yang diakhiri dengan
bai’atul wilayah itu lama masanya 101 hari. Sesudah tarbiyah dan
bai’atul wilayah itu selesai, beliau diperintahkan oleh Al-Khidr untuk
segera pulang ke Jawa, karena wilayahnya ditetapkan di Jawa (baca ;
Somalangu).
Ini adalah suatu perjalanan serta pengalaman spiritual yang tak pernah
dirancang serta tergambarkan oleh beliau sebelumnya. Kisah ini penulis
ungkapkan dalam bentuk sederhana dengan tujuan bukan untuk kultus
individu namun lebih terarah agar pembaca kedepan dapat memahami
beberapa sikap yang mempengaruhi Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam
mengambil suatu keputusan.
Menikah
Sesudah kepulangannya dari tanah Haram, yaitu mulai tahun 1338 H, Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membantu abahnya mengasuh Pondok Pesantren
Al-Kahfi Somalangu. Ketika usianya menginjak 33 tahun, Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani menikah dengan Syarifah Maidatul Mardhiyah binti
Abdullah Al-Muqri bin Al-Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhsin
Al-Huseini. Nasab isteri beliau ini bersambung pada sadah Ba’alawi yang
tinggal di India melalui Al-Habib Burhan bin Nur ‘Alam bin Abdullah
Khan, Gujarat. Jadi masih saudara (satu nasal) dengan Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon.
Dari pernikahan tersebut, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dikaruniai 9
orang putera – puteri. Tiga diantaranya laki – laki. Dan 6 lainnya
adalah perempuan. Dari ketiga putera laki – laki hanya ada satu orang
puteranya yang menyambung keturunan beliau yaitu Sayid Chanifudin.
Lima tahun sesudah menikah, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kembali
berangkat ke tanah Haram. Kurang lebih sembilan bulan lamanya beliau
tinggal disana. Jalinan persahabatan dengan jama’ah ahlulbait baik yang
berasal dari Yaman, Suriah, Iran, Irak, India, Pakistan dan Hadhramaut
beliau rangkai waktu itu. Demikian pula yang berasal dari kawasan Asia
Tenggara seperti Pattani (Thailand), Tumasik (Singapura, merdeka th
1965) dan Malaya (Malaysia, merdeka th 1957). Oleh karenanya tidak
mengherankan jika sewaktu setelah beliau kembali lagi ke Somalangu
banyak sekali santri – santri yang berasal dari luar negeri datang dan
belajar di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu pada beliau.
(KH Maemun Zubaer, Sarang, Rembang berkata, “Pada saat itu saya berusia
sekitar 16 – 17 tahun. Ketika mendengar bahwa di alun – alun Lasem
datang Syeikh Mahfudz Somalangu, masyarakat dari sekitar sini sampai
Tuban, tua – muda rela berjalan kaki menuju Lasem secara berduyun –
duyun demi untuk bisa melihat, mendengar taushiah serta bersalaman
dengan beliau. Sungguh Syeikh Mahfudz mempunyai harisma yang besar.
Beliau adalah sahabat ayah saya. Setiap melewati Sarang pasti mampir
kerumah ayah”).
Mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu
Sebagai putera tertua dari Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim
Al-Hasani, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani merupakan pewaris penerus
perjuangan abahnya dalam mengasuh pesantren yang beliau pimpin. Tanggung
jawab yang besar dalam situasi negara masih tengah berada dalam
genggaman penjajah adalah bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi Syeikh
As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani seringkali meninggalkan pesantren dan
berada di Hejaz dalam waktu yang relatif lama. Secara praktis, Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu dalam
nuansa pendidikan pesantren selama 11 tahun. Empat tahun diantaranya
masih membantu abahnya. Dan tujuh tahun langsung mengendalikan
kepemimpinan. Selebihnya (5 tahun), beliau pergunakan untuk memimpin
perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Metode klasikal telah diterapkan pada masa kepemimpinan beliau. Ada
sebuah kisah yang mungkin dapat dijadikan sebagai sebuah bagian dari
cermin penerapan metodologi pendidikan ketika beliau mengasuh pesantren.
Yaitu, kisah yang diceritakan oleh salah seorang warga masyarakat
bernama Subahwi (75 th). “Pada masa Syeikh Mahfudz, saya belajar di
madrasah pesantren tingkat ibtidaiyyah. Tempatnya di serambi masjid.
Yang diajarkan, selain dari ilmu – ilmu agama, saya juga telah menerima
pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Arab. Bahasa pengantarnya memakai
bahasa Melayu yang kadang diselingi dengan bahasa Jawa. Kurang lebih 3
bulan sebelum Jepang masuk ke Jawa, beliau mengumumkan pada kami untuk
belajar mata pelajaran tambahan yaitu bahasa Jepun (Jepang, pen). Yang
mengajar langsung beliau sendiri. Sehingga ketika tentara Jepun datang
ke Somalangu, kami dikumpulkan oleh beliau didepan masjid untuk
dipertemukan dengan tentara Jepun. Dan kami dapat menjawab pertanyaan
mereka dengan bahasa mereka. Akhirnya tentara Jepun itu pergi dari
Somalangu dan mereka merasa senang karena anak – anak sebaya saya sudah
bisa berbahasa Jepun sebelum mereka datang. Mereka tak pernah menjajah
Somalangu”.
Kisah diatas menunjukkan bahwa Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani benar –
benar mempunyai wawasan yang luas. Beliau bukan hanya mendalam dalam
bidang agama akan tetapi juga faham ilmu politik, strategi dan
penguasaan berbagai bahasa. Beberapa orang dekat beliau menceritakan,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu mampu menguasi bahasa asing
seperti Arab, Belanda, English, Persi, Jepang dan Urdu dengan baik serta
fasih.
Dalam segi pengabdian ke masyarakat serta untuk mengefektifkan penerapan
ajaran islam dalam kehidupan sehari – hari, Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani memberikan waktunya dua kali seminggu mengajar masyarakat
awam. Mereka dibekali tuntunan aqidah ‘ala ahlissunnah wal jama’ah, fiqh
dan juga tasawuf. Kegiatan ini berlangsung tiap hari Selasa dan Jum’ah
Pagi. Untuk menyampaikan taushiahnya agar mudah diterima oleh
masyarakat, beliau juga sangat akomodatif terhadap budaya – budaya yang
tidak merusak sendi – sendi ajaran islam. Syeikh As_Sayid Mahfudz tak
sungkan – sungkan menyampaikan taushiahnya dalam bentuk irama kidung
macapatan Jawa. Karena nuansa psychologi masyarakat sebelum tahun 1945
adalah nuansa kultur keraton. Dan dengan cara itulah, pemahaman menjadi
mudah diserap oleh masyarakat.
Untuk menyemangatkan orang agar senang beribadah dan mengaji biasanya
beliau melagukan kidung – kidung pangkur. Jika meriwayatkan tarikh rasul
beliau melagukan irama Dandang gula. Dan apabila mengarahkan orang
untuk mencintai Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Shalihin beliau
mengalunkan irama Asmaradana. Jadi tidak benar pemberitaan yang
menyebutkan bila Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membenci kebudayaan
Jawa. Apabila ada suatu kasus pernah terjadi beliau tidak setuju
terhadap suatu tontonan tertentu, semestinya harus dianalisa dulu apa
penyebabnya. Bisa saja ketidak setujuan itu terjadi karena sang pelakon
membawakan suatu kisah yang dapat membahayakan pada aqidah umat. Jadi
sifatnya kasuistis. Tidak dapat digeneralisasi. Karena penulis mempunyai
banyak bukti, banyak sekali karya – karya beliau yang dimasukan dalam
akulturasi budaya Jawa. Insyaallah kelengkapan ini akan dirilis dalam
edisi buku biografi beliau secara lengkap yang dikeluarkan oleh Pondok
Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Membangun kultur dan perekonomian santri
Selain sebagai figure ulama, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga
seorang tokoh produktif yang dapat menjadi suri tauladan santri untuk
dapat survive dimanapun bilamana santri menempatkan diri.
Kebumen di tahun 1940-an adalah sebuah daerah yang masih cukup statis
dibidang perekonomian. Tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya masih
teramat rendah. Apalagi jerat – jerat feodalisme sungguh masih
membelenggu kemajuan diperbagai sektor. Standar kemampuan seseorang
dibidang ekonomi masih diukur dengan seberapa besar jumlah luas lahan
baik kering atau basah (pertanian) serta hewan peliharaan yang mereka
miliki.
Ditengah – tengah situasi demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
maju memberikan suri tauladan pada para santri, bagaimana mengatasi
stagnasi ekonomi dan membangun kultur budaya yang positif dalam nuansa
islami di masyarakat. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memulai dengan
menjalankan potensi – potensi ekonomi masyarakat yang belum terangkat
secara maximal di Kebumen pada masa itu. Diantaranya ialah pengolahan
kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik
rokok, perdagangan kayu jati baik dalam sekup regional maupun ekspor (ke
Malaya, Tumasik dan India) dan lain – lain. Jika salah satu roda usaha
penggerak perekonomian ini telah jalan serta ada orang lain dari
kalangan masyarakat yang mampu dan berkenan meniru beliau maka Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akan memilih mengalihkan diri pada bidang
lain yang belum tersentuh.
Dari sini menjadikan banyak orang semakin bersimpati pada sosok figure
beliau. Karena pada endingnya, hampir para ekonom dan saudagar –
saudagar ternama di Kebumen yang berada di perbagai penjuru sentra
ekonomi Kebumen dipastikan punya hubungan psychology dan sociology yang
baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Landasan kekuatan dan
pengembangan ekonomi yang dijiwai oleh semangat nasionalisme dan
dibangun secara bersama – sama oleh beliau dengan tokoh – tokoh ekonom
lainnya di Kebumen menyebabkan setiap pan kapitalis non pribumi gagal
menjajah ekonomi masyarakat Kebumen. Oleh karena itu bukanlah hal yang
mengada – ada serta sangat logis jika dikemudian hari pengaruh Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini dapat masuk ke seluruh pelosok desa yang
ada di wilayah Kebumen. Beliau sepertinya menjadi figure fenomenal
pemersatu dan kebangkitan dari masyarakat Kebumen era tahun 1940 –
1945-an.
Pelopor Iptek Santri
Kalau pembaca mau lihat – lihat majalah “Keboemen Berdjoeang” sebelum
tahun 1950-an, maka pembaca akan menemukan sebuah data stastistik, di
Kabupaten Kebumen waktu itu baru ada satu buah pemilik mesin
penggilingan padi. Siapakah pemiliknya? Tiada ain yaitu Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani. Ya, mesin penggilingan padi yang beliau miliki saat
itu bukanlah berbentuk sebagaimana mesin penggilingan padi model
sekarang yang telah sarat dengan kemajuan teknologi. Mesin penggilingan
padi yang dimiliki oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beliau
ciptakan sendiri teknologinya. Generator listriknya beliau peroleh
dengan memakai penampang lingkaran yang digerakkan oleh tekanan pegas
melalui pengolahan tenaga air. Mesin ini bila pada zaman sekarang dapat
digambarkan adalah sebuah jenis mesin teknologi tepat guna yang bekerja
dengan tanpa menggunakan bahan bakar minyak namun menggunakan air sumur.
Selain mampu menciptakan mesin penggilingan padi sebagai suatu cara dari
Syeikh As_Sayid Mahfudz A-Hasani untuk memotivasi santri agar dapat
berkarya dalam hal – hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas, beliau
juga mampu menelorkan karya – karya teknologi yang sampai sekarang belum
diangkat untuk diketahui umum. Diantaranya yang penulis ketahui yaitu
seperti Mesin penjernih air (semacam Water Purefier namun dapat memilah
kandungan air, minyak, besi dan kuman secara tersendri), Lensa pembaca
hiroglif serta data arkeologi, Alat ketik dan komunikasi (semacam
Notebook namun keyboardnya terbuat dari jenis batuan) dengan menggunakan
Batery listrik alam dan lain – lain.
Aktif menyusun strategi kemerdekaan
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selain mengasuh pesantren beliau juga
aktif berperan serta menyusun strategi kemerdekaan Indonesia dari tangan
penjajah. Keadaan ini timbul tak lepas dari hubungan akrab persahabatan
yang dijalin beliau dengan para ulama dan keprihatinannya terhadap
keadaan bangsa. Tokoh yang sering berhubungan dengan beliau dalam
masalah perjuangan kemerdekaan ini adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng,
Jombang sekaligus pendiri organisasi Nahdhatul ‘Ulama. Antara keduanya
sering saling mengunjungi dan berkirim surat. Dalam pustaka ayah penulis
terdapat beberapa naskah surat – surat asli yang berasal dari KH Hasyim
Asy’ari kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Insyaallah dalam buku
sejarah biografi beliau yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu akan diungkap serta diuraikan secara lengkap. Jadi hubungan
baik antara Tebu Ireng dengan Somalangu itu terjalin bukan dimulai dari
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Wahid Hasyim (mantan Menag)
akan tetapi justru dari beliau dengan KH Hasyim Asy’ari. Bahwasanya
antara KH Wahid Hasyim berhubungan baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani memang benar. Akan tetapi jalinan persahabatan itu dimulai
dari ayah KH Wahid Hasyim. Bukan karena KH Wahid Hasyim pernah bersama
satu kurun Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Pesantren Tremas. Sebab
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mondok di Tremas tahun 1335 H/1917 M –
1336 H/1918 M, sementara KH Wahid Hasyim dilahirkan pada 1 Juni 1914 M.
Jadi pada saat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah pulang dari
Tremas, KH Wahid Hasyim baru berusia 4 tahun. Jelas mereka tidak pernah
satu kurun di Tremas, walau keduanya adalah sama – sama alumnus
pesantren tersebut. Mudah – mudahan tulisan saya ini dapat menjadi
koreksi pada tulisan – tulisan yang mengulas hubungan keduanya.
Perkenalan antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim
Asy’ari dimulai saat ada pertemuan akbar antara para alim ulama di
Ampel, Surabaya menjelang tercetusnya resolusi Jihad pertama. Beliau
adalah orang pertama yang mengusulkan agar KH Hasyim Asy’ari ditunjuk
sebagai pemimpin dan deklarator resolusi jihad. Hujah – hujah yang
beliau kemukakan sangat menarik perhatian peserta pertemuan. Sehingga
sesudah itu antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim
Asy’ari terjalin hubungan yang cukup akrab. Setelah selesai pertemuan
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diminta oleh KH Hasyim Asy’ari untuk
menemani beliau berkhalwat selama 40 hari di masjid Ampel, Surabaya
untuk memohon petunjuk pada Allah Swt terhadap langkah – langkah tehnis
yang sebaiknya dikerjakan.
Mendirikan badan kelasykaran AOI
AOI adalah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Merupakan
sebuah badan kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan
tujuan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan
kelasykaran ini beranggotakan berbagai elemen umat islam yang ada
diwilayah Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
penjajah Belanda yang dibackup oleh Sekutu ingin tetap menguasai
Indonesia. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sebagai seorang tokoh ulama
berpengaruh didaerah wilayah Dulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas)
waktu itu diminta oleh berbagai pihak untuk berkenan memimpin sebuah
badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dimana pada
saat tersebut telah beredar khabar secara luas bahwa Belanda akan datang
kembali ke Indonesia bersama Sekutu sebagai pengganti pendudukan
Jepang. Atas permintaan ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian
melakukan istikharah dan meminta pertimbangan pada para sesepuh ulama.
Kesimpulan selanjutnya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya
berkenan memenuhi permintaan para tokoh masyarakat tersebut dengan
catatan setelah selesai perjuangan beliau akan kembali lagi ke pesantren
dan tidak akan campur tangan dalam urusan birokrasi kenegaraan.
Tepat pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945,
diresmikanlah berdirinya suatu badan kelasykaran perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI yang diberi nama AOI sebagai sebuah
singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Badan kelasykaran ini
dibentuk dan didirikan hanya bersifat untuk antisipasi situasi kritis
semata dan sebagai respon baik pada anjuran pemerintah RI (Soekarno –
Hatta). Sebab pada situasi pasca proklamasi, kesatuan tentara nasional
belumlah mencukupi kebutuhan untuk dapat mempertahankan teritori negara
secara menyeluruh dari kemungkinan serangan kembali pihak penjajah. Oleh
karenanya, maka struktur organisasi AOI-pun dibuat dengan amat sangat
sederhana. Demikian pula Anggaran Dasar organisasinya.
Anggaran Dasar AOI hanya memuat 2 bab. Masing – masing ialah Bab I
berisikan tujuan dibentuknya AOI dan Bab II berisikan sikap dari badan
kelasykaran AOI.
Sikap organisasi AOI dituangkan dalam Anggaran Dasar, karena bagi AOI
sikap kelembagaan itu penting untuk dimengerti oleh setiap orang agar
mereka mengetahui bagaimanakah prinsip AOI sebenarnya dalam menanggapi
kemerdekaan RI.
Bagi AOI Kemerdekaan RI dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan UUD’45 sebagai dasar negaranya adalah harga mati (silahkan lihat
dan perhatikan dengan baik Anggaran Dasar AOI). AOI tidak dapat
berkompromi dengan para penjajah atau pembuat makar terhadap NKRI. Oleh
karenanya jelas sekali antara AOI dengan DI/TII terdapat perbedaan yang
mendasar. Dan tidak benar ada hubungan atau korelasi structural antara
organisasi AOI dengan DI/TII.
Benarkah AOI pemberontak?
Jika hendak mengulas bagian ini secara terperinci memang dibutuhkan
ruang yang tidak sedikit. Padahal tulisan ini fokus utamanya adalah
biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Namun karena
bagian ini sering menjadi wacana dari perbagi pihak, maka penulis akan
ungkapkan secara implisit saja bagaimana sudut pandang yang penulis
ketahui mengenai wacana tersebut.
Untuk mengetahui apakah sebuah organisasi itu memberontak atau tidak
terhadap sebuah negara semestinya yang pertama – tama harus dilihat
dahulu adalah haluan atau tujuan organisasi tersebut. Dengan kata lain,
harus dilihat dahulu seperti apakah dan bagaimanakah Anggaran Dasar
serta Anggaran Rumah Tangga-nya. Dari berbagai buku yang pernah beredar
dan menulis tentang organisasi AOI, belum satupun buku yang penulis
temukan didalamnya ada yang memuat seperti apakah Anggaran Dasar AOI
apalagi sampai pada Anggaran Rumah Tangganya. Oleh karena itu
peng”hakiman” yang mereka buat menurut penulis secara ilmiah mengandung
cacat sejarah dan kurang proporsional. Sehingga objektivitas hasil
tulisannya bagi kalangan yang berfikir jadi amat diragukan.
Menurut Anggaran Dasarnya, AOI didirikan dengan tujuan untuk mengusir
penjajah serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa
berada dibelakang pemerintah Republik Indonesia dengan Undang – Undang
Dasarnya yaitu UUD’45. Oleh karenanya tuduhan bahwa AOI melakukan
pemberontakan dan hendak mendirikan Negara Islam adalah fitnah politis
semata.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pernah ditanya oleh beberapa murid
beliau tentang pandangan islam dan negara. Beliau menjawab, “Islam tidak
harus berbentuk negara, akan tetapi islam harus hidup dalam setiap
negara”. Yang dimaksud adalah, bagi pandangan beliau ajaran islam tidak
mengharuskan suatu negara berlebel Islam. Namun para pemeluk islam (kaum
muslimin) wajib mewarnai kehidupan bernegara dengan menjalankan ajaran
agamanya secara baik dan benar dimanapun mereka berada.
Masih menurut Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, “Setiap umat islam
wajib secara ikhlas membela negaranya sendiri – sendiri dari penjajahan
bangsa lain”. Oleh karenanya untuk menunjukkan peran wajib umat islam
terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia maka beliau lalu
memberi nama badan kelasykaran yang didirikannya dengan nama Angkatan
Oemat Islam Indonesia yang masyhur disingkat dengan AOI.
Peran AOI dalam pengusiran penjajah di wilayah Dulangmas sangatlah besar
dibanding badan – badan kelasykaran lain. Pamor AOI naik dibanding yang
lain karena dukungan dan kepercayaan masyarakat yang luar biasa. Dalam
berbagai medan pertempuran anggota AOI senantiasa gagah berani berada di
garda terdepan. Saat peristiwa 10 November di Surabaya, AOI juga
mengirimkan pasukannya. Ketika peristiwa 10 November Surabaya inilah
salah seorang adik beliau lain ibu yang bernama Sayid Qushashi Al-Hasani
gugur menjadi Syuhada. Lasyakar AOI seperti tak mengenal takut dan
senantiasa pulang banyak membawa kemenangan dari medan laga. Yang
membuat semakin simpatinya masyarakat terhadap AOI, bukan hanya peran
kelasykaran saja yang dilakukan. AOI juga melakukan perjuangan sosial
dengan mengirimkan bantuan pangan yang diatas namakan rakyat serta
pemerintah RI ke India disaat negara tersebut tengah mengalami krisis
pangan. Oleh karenanya disisi lain kecemburuan sosial terhadap AOI juga
mulai muncul dari kalangan militer. Puncaknya terjadi ketika setelah
Belanda dan pemerintah RI melakukan perjanjian Renvile serta perundingan
konfrensi meja bundar, Den Hag yang menghasilkan negara RI dirubah
menjadi RIS serta UUD’45 diganti menjadi UUD’50 dan TNI berubah menjadi
APRIS.
Perserikatan dengan Belanda bagi AOI berarti penghianatan terhadap NKRI.
Dan juga amat bertentangan dengan Anggaran Dasarnya. Walaupun demikian
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyadari bahwa itu adalah bagian dari
proses politik. Oleh karenanya ketika pemerintah mengumumkan untuk
pembubaran badan – badan kelasykaran serta penggabungan kedalam APRIS,
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani walau dengan berat hati mengambil
langkah – langkah sbb :
Mengizinkan satu bataliyonnya (Bataliyon Lemah Lanang) yang dipimpin
oleh Sayid Quraisyin (KH Nur Shodiq) untuk bergabung dengan APRIS
(Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Bataliyon Lemah Lanang ini
setelah bergabung dengan APRIS berganti nama menjadi Bataliyon X yang
bermako di Kebumen.
Membubarkan sebagian besar anggota Bataliyon Himayatul Islam untuk
kembali lagi ke masyarakat. Dan sebagian kecilnya masih berada di
lingkungan asrama dengan maksud untuk menjaga keamanan masyarakat
bilamana dibutuhkan.
Sebenarnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat keberatan ketika
adik lain ibu beliau yaitu Sayid Quraisyin menyatakan niatnya bergabung
ke APRIS. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyarankan agar beliau
tetap bersamanya saja kembali ke pesantren dan melepaskan diri dari
urusan kemiliteran atau birokrasi kepemerintahan. Karena pandangan
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pada masa – masa transisi seperti saat
tersebut, kalangan tokoh umat islam Indonesia banyak yang belum siap
menghadapi pergulatan politik kekuasaan dikarenakan tingkat pengetahuan
serta kematangan berfikir yang masih lemah dibanding kaum neoliberalis
yang sempat mengenyam pendidikan dari bangsa penjajah. Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani mengingatkan kepada adiknya, “Apakah kamu telah siap
dengan resikonya? Ketahuilah! Aku melihat akan ada kejadian besar jika
kamu nekad melakukannya”. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh
Sayid Quraisyin.
Apa yang menjadi kekhawatiran Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya
terbukti. Bermula ketika terjadi rasionalisasi dalam tubuh APRIS yang
menghendaki penggabungan anggota antara Bataliyon X APRIS dengan anggota
Bataliyon Lain yang berbeda fahamnya, Sayid Quraisyin sebagai komandan
Bataliyon X APRIS menolak keputusan tersebut. Penolakan ini sepertinya
menjadi entri point politik dari sebuah scenario besar yang telah
direncanakan oleh rival – rival politik para tokoh pejuang islam untuk
mengebiri jasa – jasa peranan mereka dalam kemerdekaan RI. Suasana
tegang menjadi semakin panas ketika ada seorang anggota Bataliyon X
dibunuh oleh Bataliyon Kuda Putih. Upaya permintaan dari Bataliyon X
agar anggotanya yang dibunuh dikembalikan, menjadi sebuah isu besar yang
diblow-up dan dikaitkan dengan AOI. Padahal secara resmi AOI telah
menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk kembali ke masyarakat.
Dan hanya sisa sedikit orang saja yang berada di asrama karena
permintaan masyarakat untuk membantu keamanan warga dari tindak
kejahatan yang dapat ditimbulkan oleh suasana masih belum kondunsifnya
negara ketika itu. Dengan kata lain kejadian yang menimpa anggota
Bataliyon X APRIS dengan Bataliyon Kuda Putih bagi AOI sebenarnya
tidaklah ada kaitan yang mengikat.
Ditingkat pusat issu berkembang bahwa AOI akan memberontak kepada
negara. Pasalnya yang mengemuka karena Bataliyon X yang dikomandani oleh
Sayid Quraisyin (lebih dikenal dengan nama KH Nur Shodiq ketika itu)
berasal dari AOI. Dan pembangkangan yang dilakukan oleh Bataliyon X
dianalogkan sebagai hal yang tidak mungkin terjadi jika tidak dikomando
oleh bekas induk pasukannya yaitu AOI. Padahal antara Bataliyon X APRIS
dengan AOI secara structural telah terpisah, serta pula antara Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan Sayid Quraisyin terdapat pandangan
yang berbeda.
Ketika issu ini mengemuka tajam, pemerintah pusat mengirim dua orang
utusannya yaitu Jaksa Agung Mr Kasman Singodimejo dan Menteri Agama KH
Wahid Hasyim untuk mengklarifikasi kebenaran khabar berita tersebut.
Keduanya menemui Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Somalangu.
Sesampainya di Somalangu kedua pejabat diterima dengan baik oleh Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Mereka berdua disambut dengan kebesaran
umbul – umbul bendera merah putih. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
mengajak keduanya untuk melihat orang – orang yang berada di asrama
sambil berkata, “Masa orang – orang desa seperti ini mau memberontak
negara.??”.
Hasil klarifikasi dua pejabat negara tersebut kemudian diumumkan melalui
jumpa pers yang diantara beritanya dimuat oleh surat kabar nasional
tanggal 12 Agustus 1950, dengan bahasa bahwa Menteri Agama KH Wahid
Hasyim menyatakan telah terjadi kesalah pahaman anatara AOI dan APRIS.
AOI tidak sama dengan DI. Menteri Agama menjamin bahwa AOI tidak akan
memberontak kepada negara.
Namun apa daya, klarifikasi dan jaminan yang dinyatakan oleh Menteri
Agama serta Jaksa Agung ternyata tidak digubris oleh junta militer
APRIS. Tak lama berselang, Bataliyon X APRIS diserang oleh beberapa
Bataliyon lainnya dari sesama APRIS. Ketika peristiwa ini terjadi Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih melarang sisa – sisa anggota AOI dari
Bataliyon Himayatul Islam yang ada di Somalangu untuk terlibat dalam
pertempuran tersebut. Dan masih terngiang pula dalam telinga orang –
orang yang mengalami peristiwa itu, beliau berkata, “Itu yang bertempur
antara APRIS dengan APRIS”. Orang – orang yang dari luar Somalangu
sekalipun ia adalah mantan anggota Bataliyon Himayatul Isalam AOI oleh
beliau juga dilarang masuk Somalangu. Hal itu dilakukan demi untuk
menjaga jangan sampai terjadi penyusupan.
Pertempuran tidak seimbang antara Bataliyon X APRIS dengan beberapa
Bataliyon lainnya memaksa Bataliyon X mundur terdesak. Dalam situasi
demikian, meneroboslah masuk Sayid Quraisyin menghadap beliau. Padahal
para penjaga telah diperintahkan untuk menolak siapa saja yang datang
dan keluar dalam situasi demikian. Namun karena yang datang adalah adik
beliau maka tentu saja para penjaga menjadi sungkan karenanya. Sayid
Quraisyin minta bantuan kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar
berkenan membela orang – orang islam yang hendak dibunuh. “Menyerah atau
tidak mereka tetap saja akan dihabisi”, mengadu Sayid Quraisyin.
“Sebentar lagi mereka akan masuk Somalangu karena terdesak. Mohon
diizinkan dan dibantu”.
Pepatah Jawa mengatakan, “Tega larane ora tega patine”. Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani ahirnya luluh hati melihat sang adik yang seperti
kebingungan. Beliau kemudian memanggil orang – orang yang masih
bersamanya didepan masjid. Syeikh As_Sayid Mahfudz berkhutbah yang
intinya, bahwa sekarang ada orang – orang islam didekat kita yang tengah
dikejar – kejar hendak dibunuh. Hukumnya wajib berjihad membantu
menyelamatkan mereka serta menjaga muruah umat islam. Karena yang tengah
dihadapi adalah bangsa sendiri dan diantara mereka juga banyak yang
muslim maka beliau serukan haram hukumnya menembak atau membunuh mereka
lebih dahulu. Untuk itu, kepada siapa saja yang memegang senjata dan
hendak menembakkan atau mengayunkan senjatanya wajib membaca kalimah
syahadatain lebih dahulu. Jika lawan menjawab dengan bacaan syahadat
maka haram untuk menembak atau mengayunkan senjatanya dan wajib bagi
kita untuk mundur menghindari. Namun jika lawan ternyata tidak menjawab
syahadatain kita maka dibolehkan untuk menembak atau mengayunkan
senjata. Inilah kehati – hatian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam
persoalan hukum.
Sungguh kental nian nuansa politisnya, orang yang membela dan berjuang
sepenuh hati demi tegaknya kemerdekaan RI dituduh sebagai pemberontak,
sedangkan yang berserikat dengan penjajah dianggap sebagai pahlawan.
Dimana keadilannya? Mungkin benarlah orang yang berkata dinegeri ini
apapun bisa didapat dan dicari. Hanya satu yang sulit ditemukan dan
dicari, yaitu keadilan. Tapi sebagai muslim yang baik kita harus yakin,
bahwa Allah Swt Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Ia punya rencana. Dan
rencana-Nya adalah rencana yang sangat Adil.
Anggaran Dasar AOI
Tertulis jelas dalam anggaran dasarnya, tujuan AOI itu ada 4 macam. Dan
ada 12 sikap yang dimiliki oleh AOI. Berikut ini penulis nukilkan ke-4
macam tujuan tersebut dan 12 sikapnya sesuai dengan naskah asli yang ada
dalam kepustakaan Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Naskah ini masih menggunakan bahasa Melayu (baca ; Indonesia) tahun 45-an serta bertuliskan huruf Arabic – Latin (Arab Pegon).
Tujuan Angkatan Oemat Islam :
Menolak penjajah serta menguwatkan Kamardikan Indonesia
Menjaga serta mempelihara keamanan umum bersama dengan badan-badan lain
yang sama tujuannya yalah tetap dan kuatnya Kamardekaan kita, dan tidak
merintangi haluan serta dasar AOI
Berusaha Kasampurnaan jalannya agama islam
Berusaha Kemakmuran bangsa di dalam Indonesia Merdeka
Surat Ali ‘Imran Ayat 145. Yang Artinya, “Sesuatu yang bernyawa tidak
akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya. Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia niscaya
kami berikan kepadanya pahala dunia. Dan barangsiapa yang menghendaki
pahala akhirat, kami berikan pula kepadanya pahala akhirat. Dan kami
akan berikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
Dalam bagian terdahulu telah diungkapkan 4 point tujuan AOI yang
termaktub dalam Anggaran Dasar-nya. Selanjutnya pada penulisan kali ini
akan kami nukilkan 12 sikap AOI yang juga merupakan bagian dari isi
Anggaran Dasar organisasi tersebut.
Dibuka dengan ayat yang berbunyi :
Artinya,”Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat
mengalahkan kamu ; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi
pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain)
dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah hanya kepada Allah sajalah
orang-orang mu’min bertawakal”.
Kemudian 12 sikap organisasi AOI tertulis sebagai berikut :
1. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Beri’tiqad dan berjanji akan berjuang untuk maksud kesempurnaan jalannya
agama islam dalam lingkungan umat islam dan akan bekerja untuk keamanan
umum serta kemakmuran dengan lebih dulu mempertuanken serta menguwatkan
Kamerdekaan Indonnesia menurut jalan Allah swt di belakang Pemerintah
Repiblik Indonesia Merdeka yang mana berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagaimana dalam Undang-Undang Dasarnya Bab II Fasal 29.
2. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Berjuang dengan dasar hukum-hukum islam dan mengikuti perjalanannya dan
faham-fahamnya para mu’minin terbanyak dari jaman nabi Muhammad saw,
yalah Sabilul Mu’minin.
Surat An Nisa 115
Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan
Kami masukkan ia kedalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali”,
Dan hadis Sawadul A’dzam.
3. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Berjuang sukarela Mutathawwi’in menurut keikhlasan dan keinsafan kita sendiri, tidak menghendaki dipaksa-paksa lain orang.
4. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Menghendaki kerja bersama-sama dengan badan lain dan dengan siapa saja
yang sama tujuannya, yalah tetap dan kuatnya Kamerdekaan kita Indonesia,
bilamana tidak merintangi dasar dan haluan kita
5. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Sedia tunduk pada petunjuk dan fatwa-fatwa para ‘Ulama kita dan para
sepuh-sepuh kita atau pemimpin-pemimpin kita bilamana tidak nyata dan
terang, selamanya.
6. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Berjanji akan tetap pegang teguh dan menjunjung tinggi pimpinan dan
petunjuk yang mana diturunkan dari Allah Swt Rabbul ‘Alamin untuk
mengatur kebatinan kita pada Tuhan Yang Maha Esa dan mengatur masyarakat
kita umum islam di Dunia ini.
7. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Beri’tiqad dan berjanji akan membela kebenaran dan keadilan menurut ayat 58 Surat An_Nisa ;
Artinya,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”.
Dan berani pendirian berani karena benar takut karena salah.
8. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Ber’itiqad dan berjanji akan menolak penjajah dan komplotan-komplotannya
menurut ayat 7 surat Ali ‘Imron, dan akan menolak tindakan-tindakan
dari siapa saja yang bersifat penganiayaan dan bertentangan bangsa
kemanusiaan menurut Ayat 194 Surat Al_Baqarah :
Artinya, “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa”.
9. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Beri’tiqad tak adalah bagi orang yang tidak islam menyusun dan mengatur
masyarakat umat islam Indonesia ini menurut ayat 139 surat An Nisa ;
10. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Beri’tiqad tiap-tiap bangsa di Dunia ini mempunyai hak kebangsaan dan
hak kemerdekaan sepenuh-penuhnya dalam negaranya sendiri-sendiri.
11. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Akan menyusun kekuatan selama-lamanya untuk menolak musuh Allah Rabbul
‘Alamin yalah perampas dari peraturan-peraturan Allah Rabbul ‘Alamin
untuk kita ummat islam Indonesia ini, dan musuh kita yalah tukang
perampas-perampas kita dan kemerdekaan kita menurut Ayat 60 Surat Al
Anfal ;
Artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan
orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)”.
12. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,
Berjuang dengan niat menjalankan perintah Allah dan menuju keridhaan Allah semata-mata.
Syeikh As_Sayid Mahfudz sudah wafat atau masih hidup?
Pertanyaan ini sering menjadi buah bibir dikalangan mantan anggota AOI,
para santri dan Kyai serta pula beberapa tokoh masyarakat lainnya.
Munculnya pertanyaan itu tak terlepas dari banyaknya kelebihan yang
diberikan oleh Allah Swt kepada beliau dan sempat disaksikan oleh banyak
kalangan.
“Syeikh Mahfudz itu dzahib ilal ghabah” Kata KH Mufidz, Pengasuh Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta.
KH ‘Ali Ma’shum, Krapyak pernah berkata, “Tidak ada seorang pun yang tau
keberadaan Syeikh Mahfudz yang sebenarnya terkecuali hanya sedikit
orang saja”.
“Syeikh Mahfudz iku isih sugeng (Syeikh Mahfudz itu masih hidup). Koe
golekono, insyaallah ketemu (Kamu carilah beliau, insyaallah dapat
ketemu)” Begitu kata Al-‘Arif Billah Simbah KH Ahmad Abdul Haq,
Watucongol, Muntilan pada ayah penulis suatu saat.
Menurut beberapa saksi, secara lahiriah Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani telah mengalami syahid di Gn Selok, Cilacap. Tepatnya pada
hari Selasa, 14 Dzulhijjah 1369 H atau 26 September 1950 sekitar pukul
setengah empat sore WIB. Adapun sebab musabab yang mengantarkan pada
kesyahidannya yaitu beliau terkena pecahan mortir di bagian punggung
yang mengakibatkan adanya garis luka vertical sepanjang + 15 cm walau
luka tersebut tidak sampai mengeluarkan darah (hanya ‘mbalur’, jw).
Dalam peristiwa tersebut, bermula ketika Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani tengah melaksanakan qadhil hajat, tiba – tiba dari jarak
sekitar 10 m dibelakang beliau jatuh sebuah peluru mortir yang langsung
meledak. Seorang santri khadam beliau bernama Qadim langsung syahid,
sedang putera beliau yang masih berusia sekitar 13 tahun dan tengah
berdiri disisi sampingnya terlempar sampai jarak kurang lebih 100 m.
Secara selintas pandang, pada peristiwa ini Syeikh As_Sayid Mahfudz
tidak mengalami sebuah lukapun apalagi hal – hal yang membahayakan.
Karena beliau masih tetap berada ditempat semula sampai dengan qadhil
hajat-nya selesai. Putera beliau Sayid Hanifuddin juga diberi selamat
dalam peristiwa itu walau tubuhnya sempat terlontar jauh.
Luka yang dialami oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani baru ketahuan
ketika beliau selesai menunaikan qadhil hajat kemudian mengambil air
wudhu. Saat itu beliau melukar kaos dalamnya dan orang yang berada
didekatnya dapat melihat di punggung beliau ada luka vertical namun
tidaklah sampai mengeluarkan darah. Hanya warna merah saja yang nampak
menggaris di punggungnya.
Tak ada seorang pun dari pengikut beliau yang mengira jika Syeikh
As_Sayid Mahfudz akan syahid waktu itu. Karena sesudah berwudhu, Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih sempat memimpin shalat dzuhur
berjama’ah. Beliau juga kemudian berkhutbah, dimana dalam isi
khutbahnya, beliau menyatakan hendak “beristirahat” dan meminta pada
para pengikutnya agar dimanapun kelak mereka berada untuk senantiasa
berjuang mengupayakan ‘izzul islam wal muslimin.
Selesai khutbah, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani lalu tiduran dengan
bagian kepala beralaskan paha Kyai Lukman bin Ibrahim, Pengasuh
Pesantren Lirap, Kebumen. Keduanya juga masih sempat ber-shouftoh
(bercanda) satu dengan yang lain. Namun tak lama berselang sesudah itu,
beliau lalu melantunkan suara dzikir yang membuat suasana disekitarnya
menjadi hening. Banyak kepala tertunduk sambil mengikuti dzikir beliau.
Namun ketika alunan dzikir mulai dirasa oleh satu dua telinga sudah tak
terdengar lagi, beberapa orang seperti tersadar dan tercekat
tenggorokannya lagi amat terperanjat. Oleh Sayid Hanifuddin, mereka
diberitahu jika abahnya yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah
syahid.
Ditengah kesadaran orang – orang yang semula mengelilingi dan berada
dekat dengan beliau, tiba – tiba mereka masih dikejutkan lagi ingatannya
dengan melihat jumlah orang yang bersama menjadi tinggal sedikit. “Kira
– kira hanya tinggal 20-an orang dari semula ada sekitar 50-an”. Begitu
ungkap H. Ridho, salah seorang saksi hidup pada peristiwa itu. H. Ridho
ini tinggal di Desa Wanayasa, Banjarsari, Jawa Barat. Beliau di AOI
lebih dikenal dengan nama Pardi dan bertugas memegang senjata berat
jenis Karaben hasil rampasan dari tentara Belanda.
Kyai Lukman bin Ibrahim menghilang, padahal santri yang memegang jas
beliau masih berada ditempatnya dengan baju jas yang masih dipegangi.
Satu kompi pengawal khusus yang dipimpin oleh Danpi Abdur Rasyid
(terkenal dengan nama samarannya Wagiman) juga tidak ada. Subhanallah.
Ini adalah kejadian luar biasa yang sulit dicerna oleh akal manusia.
Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Jejak – jejak mereka masih berada
ditempat semula. Tiada tanda – tanda yang mengarah mereka menjadi
syuhada ditempat tersebut.
Berita tentang kejadian ini pada tahun 1950-an menyebar luas keberbagai
tempat. Mungkin karena inilah maka para kyai dan santri banyak yang
berkeyakinan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih hidup. Demikian
pula Kyai Lukman bin Ibrahim, Lirap serta satu satuan kompi yang
dipimpin oleh Abdur Rasyid. Karena apa yang diperbuat Allah Swt terhadap
para kekasih-Nya adalah tidak ada sesuatu yang tidak mungkin.
Beberapa tahun sesudah tahun 50-an itu, khabar masih hidupnya Syeikh
As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat membuat “gerah” mabes APRIS. Mereka
meminta izin pada keluarga untuk membongkar makam Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani dengan tujuan yang untuk meyakinkan benar atau
tidaknya jika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah syahid. Karena
peristiwa kesyahidan beliau tidak diketahui oleh kalangan pasukan APRIS.
Dengan disaksikan oleh dua putera Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani
yaitu Sayid Hanifuddin dan Syarifah Hunaifiyah, dibongkarlah tempat yang
semula pernah untuk memakamkan jasad beliau. Hasilnya, jasad beliau
nampak masih ada dan utuh tak kurang satu apapun seperti saat baru
syahidnya. Bahkan selimut yang disertakan juga tidak mengalami
kerusakan. Dokumentasi diambil oleh pihak mabes APRIS. Namun ketika
hasil dokumentasi beberapa waktu kemudian diserahkan pada pihak
keluarga, semuanya menjadi terkejut. Menurut keluarga (termasuk Sayid
Hanifuddin dan Syarifah Hunaifiyah) Foto yang tercetak itu bukanlah
wajah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Akan tetapi foto orang
lain, sekalipun postur mirip dengan beliau dan selimut yang dipakai juga
sama dengan yang dikenakannya. Bahkan para mantan anggota AOI ketika
melihat foto itu, meyakini bahwa foto tersebut adalah foto rekan mereka
yang syahid ketika peristiwa pertempuran melawan Belanda dan dimakamkan
didesa Bandung, Kebumen.
Teka – teki tentang misteri Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, Kyai
Lukman dan satu satuan kompi pimpinan Abdur Rasyid ini baru terkuak pada
tahun 2007 kemaren. Setelah melaksanakan apa yang diarahkan oleh KH
Ahmad Abdul Haq Watucongol, ayah penulis berhasil bertemu dengan
kakeknya yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Pertemuan ini adalah
pertemuan nyata dan bukan pertemuan halusinasi atau pertemuan dengan
ritual ghoib. Benar kata KH Ahmad Abdul Haq dan para sesepuh ulama bahwa
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ternyata masih hidup. Beliau kini
tinggal di kota Syihr, Provinsi Hadhramaut, Yaman. Sepeninggalnya dari
Indonesia, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membangun sebuah pesantren
di Syihr. Tepatnya di komplek Masjid peninggalan sahabat Mus’ab bin
‘Umair. Beliau juga mursyid Thariqah As-Syadzaliyyah terkemuka di kota
tersebut. Banyak ulama – ulama khawas timur tengah yang sempat berguru
pada beliau sampai dengan saat ini. Diantaranya adalah Syeikh Ibrahim
Al-Asfihani yang tinggal di Suriah. Beliau adalah mursyid
As-Syadzaliyyah terkenal di Suriah yang mengambil sanad silsilah
thariqah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani setelah beliau tinggal
di Syihr, Hadhramaut, Yaman.
Kyai Lukman bin Ibrahim juga masih hidup. Setidak – tidaknya sampai
tahun 2007. Beliau kini tinggal di Thaif, Saudi Arabia. Sementara itu
Abdur Rasyid (orang yang di AOI memakai nama samaran Wagiman) beserta
beberapa orang mantan anak buahnya kini tinggal di kota Doha, ibukota
Qatar.
Oleh : Fawaqi Al-Hasani
sumber: http://zulfanioey.blogspot.com/2011/12/syeikh-assayid-mahfudz-bin-abdurrahman.html